Sudan Terbelah Dua: Libya dan Myanmar Jadi Cermin Buram


Sudan kini resmi memiliki dua pemerintahan yang saling mengklaim legitimasi atas negara mereka. Pada 15 April 2025, pemimpin Pasukan Dukungan Cepat (RSF), Mohamed Hamdan Dagalo, mengumumkan pembentukan Pemerintah Perdamaian dan Persatuan (GPU) yang mengelola wilayah di bawah kendali milisi tersebut dan kelompok-kelompok sekutunya. Pengumuman ini menandai babak baru dalam konflik berkepanjangan yang telah melanda negara Afrika Timur itu sejak pecahnya perang saudara pada 2023.

Langkah RSF ini menyusul rencana Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin militer Sudan sekaligus Ketua Dewan Kedaulatan Transisi, yang sebelumnya menyampaikan rencana pembentukan pemerintahan transisi sipil pada 10 Februari 2025. Namun, niat itu justru memicu percepatan langkah kelompok oposisi bersenjata untuk membentuk pemerintahan tandingan. Situasi ini membuat banyak pihak mulai membandingkan krisis di Sudan dengan dua kasus besar di era kontemporer: Libya dan Myanmar.

Seperti Libya pasca-2011, Sudan kini menghadapi kenyataan pahit dengan munculnya dua pemerintahan yang tidak saling mengakui. Di Libya, situasi serupa menciptakan negara dengan pemerintahan ganda yang masing-masing didukung kekuatan militer dan dukungan luar negeri. Konflik berkepanjangan itu hingga kini belum menemukan titik terang. Sudan tampaknya bergerak ke arah yang sama, memperbesar risiko disintegrasi dan konflik bersenjata berkepanjangan.

Namun, perbandingan dengan Myanmar juga mengemuka. Di Myanmar, sejak kudeta militer pada Februari 2021, negara itu memiliki dua pemerintahan: junta militer yang menguasai wilayah secara de facto dan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pemerintahan sipil oposisi yang beroperasi di pengasingan dan wilayah-wilayah tertentu melalui kekuatan bersenjata lokal. Seperti Myanmar, Sudan kini juga menyaksikan munculnya pemerintahan alternatif dengan struktur negara lengkap, termasuk rencana penerbitan paspor, mata uang, dan dokumen resmi.

GPU yang dibentuk RSF berupaya menyaingi legitimasi pemerintah pusat dengan menyusun kerangka konstitusional sendiri. Piagam Pendiri Sudan yang dirancang dalam konferensi di Nairobi menjadi dasar dari pembentukan aliansi kekuatan oposisi ini. Pada 4 Maret 2025, kerangka konstitusi transisi disahkan dan disusul oleh proses panjang negosiasi posisi kekuasaan antaranggota aliansi.

Pemerintahan alternatif ini memberikan 40% posisi kabinet kepada RSF, 30% kepada Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan–Utara (al-Hilu), dan sisanya kepada kelompok sekutu lain. Dengan Dagalo sebagai ketua Dewan Presiden, struktur GPU mencerminkan upaya nyata untuk menjadi pemerintahan sah atas sebagian besar wilayah Sudan.

Kondisi ini mencerminkan bahwa Sudan bukan hanya sedang berperang, melainkan tengah membangun dua negara dalam satu wilayah. Persis seperti yang terjadi di Myanmar, di mana pemerintahan sipil oposisi juga memiliki kabinet bayangan, angkatan bersenjata, serta dukungan rakyat dari etnis minoritas. Baik di Sudan maupun Myanmar, rakyat sipil terjebak di tengah pertarungan kekuasaan antara kelompok bersenjata dan elite politik.

Berbeda dengan Libya yang cenderung mengarah ke perpecahan berbasis regional antara timur dan barat, konflik Sudan dan Myanmar lebih bercorak militer vs oposisi rakyat bersenjata. Meski begitu, hasilnya tetap sama: kekacauan, stagnasi politik, dan penderitaan rakyat.

Di Sudan, pemerintahan Burhan belum mampu menyatukan kubu sipil yang selama ini menjadi kekuatan moral perubahan. Sementara GPU versi RSF juga menghadapi tantangan besar dalam meyakinkan dunia internasional atas legitimasi mereka. Sama seperti NUG di Myanmar, GPU harus berjuang membuktikan bahwa mereka bukan sekadar alat kelompok bersenjata, melainkan representasi rakyat yang sah.

Komunitas internasional pun terbelah dalam merespons situasi ini. Sebagian menyerukan mediasi dan dialog, sebagian lainnya lebih memilih sikap menunggu dan melihat. Tidak ada dukungan yang benar-benar kuat, baik terhadap Burhan maupun Dagalo. Keengganan global ini juga terlihat di Myanmar, di mana NUG hanya mendapatkan pengakuan simbolik tanpa dukungan militer atau ekonomi yang signifikan.

Sementara itu, rakyat Sudan terus menderita. Dengan dua pemerintahan yang saling bersaing, warga menghadapi kebingungan administratif, kelangkaan logistik, dan ketidakpastian keamanan. Di berbagai wilayah, hukum rimba berlaku, seperti yang juga terjadi di banyak daerah Myanmar yang dikuasai oleh milisi etnis atau Tentara Pembebasan Rakyat.

Dalam dua tahun terakhir, Sudan telah menjadi tempat eksperimen kegagalan transisi demokrasi. Sama seperti Myanmar yang gagal mempertahankan hasil pemilu demokratis, Sudan juga gagal menyeimbangkan kekuatan sipil dan militer dalam proses transisinya. Hasilnya adalah dualisme kekuasaan yang hanya menambah panjang daftar negara yang terperosok dalam jebakan politik kekerasan.

Apakah Sudan akan menjadi Libya kedua, atau lebih mirip dengan Myanmar? Jawabannya mungkin bukan salah satu, melainkan kombinasi keduanya: negara dengan dua pemerintahan, kekuatan bersenjata yang saling berkompetisi, dan rakyat yang terjebak dalam konflik tak berujung. Dunia hanya bisa berharap agar pengalaman tragis negara-negara sebelumnya bisa menjadi pelajaran, bukan pola yang terus berulang.

Jika tidak ada upaya serius untuk rekonsiliasi dan gencatan senjata nasional, Sudan tampaknya akan tetap berada dalam pusaran konflik. Dua pemerintahan yang saling bersaing, seperti di Myanmar dan Libya, hanya akan memperparah perpecahan, memperdalam penderitaan, dan memperpanjang masa transisi yang tak kunjung selesai.

Kini dunia menatap Sudan dengan rasa cemas yang sama seperti saat menyaksikan Myanmar terjerumus dalam kekacauan dan Libya terpecah belah. Apakah Sudan bisa keluar dari bayang-bayang itu? Atau justru akan mengulang babak kelam sejarah yang sama? Waktulah yang akan menjawab. Namun sejauh ini, harapan tampaknya semakin tipis.

Dibuat oleh AI, baca info lainnya

Posting Komentar